TARI NITI NAIK MAHLIGAI  

Posted by Jambi Unlimited Treasure Team in , , , , , , , , , ,


Tarian Niti Naik Mahligai adalah satu Tarian Tradisional yang berasal dari Kabupaten Kerinci, Provinsi jambi. Tari ini mengandung unsur magis yang sangat kental. Berbeda dengan Debus dari daerah Banten, tarian ini diperagakan oleh para perempuan yang telah berumur.


Atraksi tarian ini biasanya diperagakan di beberapa event daerah. Yang sangat memukau pada tarian ini adalah atraksi di mana para penari menunjukkan kebolehan dengan menari di atas api yang membara, berjalan di atas mata pedang tajam yang terhunus, berjalan diatas telur serta

menghentakkan tombak besi yang runcing dan atraksi lainnya. Berikut dilampirkan reportase saat mengunjungi Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi :

“…. Di tengah bahana tabuhan gendang, tiba-tiba perempuan itu mengambil dua bilah pedang di depannya. Dengan sekali entakan keras dan jeritan panjang, pedang itu ia tusukkan ke tubuhnya sendiri. Dalam sekejap kedua pedang itu bengkok seperti bumerang. Ratusan penonton di lapangan depan kantor Bupati Kerinci di Sungai Penuh tercekat.

Gendang terus dipukul. Perempuan itu bergerak memejamkan mata. Wajahnya mendongak ke langit. Dari bibir sang pawang keluarlah Seru. Seru dalam kebudayaan Kerinci adalah rapal untuk memanggil roh leluhur.

Beberapa lelaki menuangkan sekeranjang pecahan kaca di depannya. Lalu atraksi mengejutkan kembali terjadi. Pecahan kaca itu diinjak dengan hentakan kuat, ia dan dua penari perempuan lain menari di atas pecahan kaca hingga berderak-derak. Selanjutnya mereka berjalan menginjak telur yang disusun di atas batang pisang. Badan mereka seolah sangat ringan, karena telur-telur itu tidak pecah, bahkan retak pun tidak.

Penonton kota kecil Kerinci telah lama sekali tak menyaksikan tarian magis bernama Niti Naik Mahligai itu. Tarian itu berasal dari Siulak Mukai, Kerinci bagian utara. Wilayah Kerinci dikenal kuat dengan tradisi seni tari magis. Namun kini sangat jarang tarian itu muncul di depan publik. Tarian itu hanya sesekali tampil dalam acara pemerintah atau upacara kenduri pusaka yang berlangsung 10 hingga 20 tahun sekali.

Gendang dan seruling terus mengiringi tarian. Rintangan berikutnya adalah duri-duri sembilu yang ditancapkan ke kayu. Kedua penari itu bergantian menginjak duri sembilu yang tajam. Penari itu kemudian juga menginjak susunan paku. Atraksi selanjutnya meniti mata pedang. Sebilah pedang panjang ujungnya dipegang dua lelaki di atas tanah, lalu telapak kaki kedua penari itu meniti pedang tajam itu tanpa terluka.

Tiba-tiba dari arah depan seorang lelaki berlari dan menghunuskan tombak. Dass..!! tombak bermata tajam itu menghunjam tepat ke ulu hati penari perempuan. Tubuh penari sempat terlihat terjengkang, namun dalam hitungan detik, dengan teriakan yang keras tombak itu patah dua.

Tak lama, di dekatnya dinyalakan api bara yang disiram minyak tanah. Api yang berkobar membangkitkan kembali semangat kedua perempuan itu. Api yang menyala-nyala itu mereka lompati dan mereka bergantian menari di atas kobaran api seperti berkecipak di atas air. Pada akhir pertunjukan dengan histeris mereka memadamkan bara api dengan kedua tangan. Ratusan mata penonton terpaku oleh pertunjukan ini. Tapi tidak semua penonton betah melihat atraksi itu.

”Saya tidak tahan lagi, seluruh bulu kuduk saya berdiri. Kalau tetap di sini, bisa-bisa tanpa sadar saya lari ke lapangan bermain silat dengan pedang,” kata Sofyan, 50 tahun, seorang penonton. Mukanya tampak merah.

Menurut sang pawang, Eva Braman-ti Putra, 31 tahun, tarian ini adalah warisan turun-temurun dari leluhurnya di Siulak Mukai, Kabupaten Kerinci. Sementara di sana tarian ini dilakukan anak muda, di desanya masih ada tarian menginjak kaca yang ditarikan orang-orang tua yang memakai jubah panjang.

Pertunjukan itu diangkat dari prosesi untuk calon raja pada masa lalu. Sebelum dinobatkan, seorang calon raja harus menempuh berbagai rintangan. Yang menarik, pertunjukan ini dimainkan semua oleh perempuan. Menurut Eva, pada masa lalu yang memegang tampuk kekuasaan di Kerinci perempuan. Kaum lelaki hanya menjalankan pemerintahan.

Penonton bertepuk tangan. Di pinggir lapangan, ketiga penari perempuan itu terkulai lemas. Ermidayati, 35 tahun, penari utama, tersandar di kursi kehabisan tenaga. ”Perut saya mual,” kata perempuan yang sehari-hari guru SMPN 3 Gunung Kerinci di Sungai Pegeh. Ia dikipasi dan diberi minum. Seperempat jam kemudian kesegarannya pulih.

Ia mengaku saat menari dirinya antara sadar dan tidak. ”Ada yang membisikkan dari dalam untuk melangkah di atas pedang, cepat…, cepat...,” katanya. Ia tidak tahu dari mana memperoleh kekebalan ketika menari. Soalnya, sehabis pertunjukan, kekebalannya juga hilang. ”Kalau teriris pisau saat mengupas bawang, ya sakit,” katanya tertawa.

Berbeda dengan para penari, ilmu yang dimiliki pawang tetap bertahan. Eva Bramanti Putra, sang pawang, misalnya, mengaku, ”Kalau sedang berada di ujung tanduk, saat-saat sedang dalam marabahaya, kekebalan itu keluar.” Eva mengatakan, ketika berusia 20 tahun, ia mendapat wangsit dari leluhur pihak ibu yang menuntunnya melaksanakan ritual tarian Niti Naik Mahligai.

Dari ibunya, ia diajari gerakan tari, dari kakek pihak ayahnya diajari ilmu meringankan tubuh, sedangkan seluruh prosesi yang lengkap didapatnya dari wangsit. Beberapa benda diganti oleh Eva. Misalnya dulu keris, kini diganti pedang, batu kaca diganti pecahan kaca, duri perdu hutan diganti paku dan sembilu. Zaman dahulu, mereka yang memainkan tari ini syahdan bisa bertengger di pucuk-pucuk daun. Sekarang, oleh Eva, para penarinya yang kesurupan disuruh berdiri di atas daun yang lebar, dan terakhir di atas kertas yang dijunjung para kru.

Semua prosesi itu dicoba dulu oleh Eva dan berhasil, padahal sedari kecil ia tidak pernah menuntut ilmu kebal sedikit pun. Sekitar tahun 2000 Eva membentuk sanggar di kampungnya, beranggotakan 13 orang. Mereka kemudian berlatih. Tarian kebal ini sempat menjadi tarian pembukaan Festival Danau Kerinci, yang diadakan tiap tahun sejak 2001. Istri Eva, Dentina, 28 tahun, juga diikutkan. Dentina mengatakan, kunci pertunjukan adalah meditasi. ”Menjelang pertunjukan, kami melakukan meditasi dengan kaki bersila sampai seluruh tubuh kesemutan dan menggigil,” katanya.

Setelah meditasi, untuk menyucikan diri kemudian ia mandi dengan perasan jeruk purut di sungai. Esoknya, ia akan menari tanpa beban, bahkan ingin cepat-cepat menginjak pedang. ”Padahal, pada saat melihat pedang itu diasah, bukan main ngerinya. Namun, ketika menari, rasanya hanya menginjak punggung pedang,” ujarnya. Menurut Eva, untuk penari inti enam orang tetap dipilih dari yang memiliki hubungan darah. ”Kalau penari lainnya biasanya anak sekolah. Tetapi saya hanya berani mengajari mereka sebatas menginjak kaca,” kata Eva.

Eva mengakui, dalam beberapa kali pertunjukan pernah gagal. Bahkan, saat di Banten, baju kru laki-laki yang menghidupkan api ikut terbakar. ”Pernah pula pada saat di Bukittinggi kaki penari utama luka terkena pedang ketika dia sedang ditombak, karena terinjak pedang di belakangnya ….”

Masih banyak bentuk kesenian daerah yang ada di Provinsi Jambi yang dapat memperkaya khasanah kesenian nasional Indonesia yang memerlukan kerja bareng untuk mengidentifikasi dan mempromosikan serta melestarikannya agar tetap ada dan bertahan dari efek kemajuan zaman.

Sebagai info, apabila ingin menyaksikan langsung tarian Niti Naik Mahligai ini, silahkan datang besok pada panggung kesenian ADB di Bali Tourism Development Center, Nusa Dua, Bali pada sore hari tanggal 01 May 2009 dan 3 pementasan lainnya di Bali dan sekitarnya.

This entry was posted on 5/3/09 at Sunday, May 03, 2009 and is filed under , , , , , , , , , , . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Post a Comment